Kamis, 07 Oktober 2010

MEREKA BUKAN HANYA DIMUSUHI TERORIS TAPI, JUGA SEBAGIAN BESAR RAKYAT INDONESIA.

Predikat sebagai pengayom masyarakat rasanya memang tidak layak lagi disematkan dalam lembaga yang berfungsi juga sebagai penegak hukum di negeri ini. Citra keharuman atas jasanya sudah seringkali ternodai, apalagi kegagahan dibalik seragam dinasnya itu bisa dibilang sudah lama sekali sirna. Ironi memang nasib para penegak hukum bangsa kita, mereka para pengguna seragam dinas, yang harusnya terlihat beribawa dan mengemban kepercayaan masyarakat sebagai naungannya justru sekarang ini malah sering menjadi bahan olok-olokan dalam masyarakat itu sendiri.

Predikatnya sebagai lembaga keuangan non-bank membuat dirinya sejajar dengan para lintah darat yang ditakuti hanya karena ‘senjata’ bukan amanah yang dipercayakan padanya. Ini hanya contoh, jika diri anda begitu kotor, jangan khawatir! noda hitam pekat yang menempel pada diri anda bisa saja hilang dengan mudah karena didalam lembaga ini tersedia fasilitas laundry crime. Syaratnya gampang! Anda harus punya banyak uang. Terserah itu uang dari mana. boleh hasil dari korupsi, ngutang tetangga kanan-kiri, ngerampok bank, atau duit tuyul sekalipun. Karena perkara asal muasal duit tersebut tidak akan dipertanyakan lebih lanjut. Biarpun anda salah. Asal ada uang, anda nyaman.

Lain lagi, jika kesalahan ini diperbuat oleh lembaga itu sendiri, yang mengaku tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Perihal ini, justru saya ingin bertanya “masyarakat yang mana yang selama ini kalian lindungi ?”. Kenapa korban salah tangkap makin marak saja mampir ditelinga kita. Biasanya korban ditangkap tanpa ada surat penangkapan yang resmi dan korban dipaksa dengan jalan penganiyayaan yang tidak manusiawi agar mengakui perbuatan dugaan pelanggaran tindak pidana yang tidak dilakukannya sampai korban tersebut akhirnya bersedia & menyerah menandatangani berkas BAP, yang kemudian resmi menjadi tersangka. Hal seperti itu, tentu saja selain dapat mengakibatkan cacat fisik akibat kekerasan penganiayaan juga dapat berakibat cacat psikologis dan kalau sudah begitu, rehabilitasi pemulihan nama baik saja dirasa tidak cukup untuk menyembuhkan kondisi psikologis korban

Itu baru contoh kecil, sedangkan contoh seringnya bisa kita jumpai di jalanan. “Apakah anda ingat jargon tokoh terkenal bangsa kita? Itu lho, pak ogah (kawannya unyil}?”. Prilakunya mirip sekali dengan mereka. Walaupun, mereka tidak nyontek karena sudah punya jargon sendiri “damai itu indah” atau istilah populernya “86A” kalau tentang ini saja tidak mau bahas, sudah malas karena sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat.

Yang menarik perhatian saya, justru ada pada kasus terorisme yang mulai trend di negeri ini sejak tahun 2006 silam hingga sekarang. Alhasil, lembaga yang dari tadi kita bicarakan ini juga ikut menyesuaikan diri untuk membentuk “orang-orangan” khusus untuk memerangi perkembangan trend ini. Entah bagaimana komposisi dari bahan pembuatan “orang-orangan” khusus tersebut sampai mereka bekerja dan bertindak seringkali tidak pakai hati, otak, apalagi akhlak. Kasus salah tangkap dan salah tembak sasaran sudah bosan terdengar. Yang paling tidak manusiawi terjadi di Tanjung Balai. Serdang, Sumatra Utara pada awal September 2010 lalu. Terkutuklah perbuatan mereka karena menembaki umat yang sedang shalat berjamaah di dalam mesjid. Sekalipun, sasaran yang dimaksud itu seorang teroris. Saya pribadi jadi heran, Bukankah kalian bekerja menjalankan tugas berdasarkan Undang-undang tapi, mengapa cara kerja kalian yang tidak berprikemanusiaan itu justru telah melanggar Undang-undang dan HAM?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar