Rabu, 23 Juni 2010

TENTANG RASA


Kadang, kita mencintai seseorang begitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Dimana perasaan ini membuat kita lupa untuk sekedar bertanya. Apakah ini benar cinta? Bagi saya cinta itu harus bersemayam di dua orang yang saling mempunyai ketertarikan hati. Tidak bisa hanya satu pihak saja, yang satu mencinta, yang lain tidak. Ibaratnya, cinta itu seperti magnet biarpun mempunyai dua sisi yang berlainan antara utara dan selatan tapi, tatap memiliki daya tarik menarik sehingga bisa bertemu di satu titik yang sama.

Ketika ada pernyataan bahwa setiap orang pernah merasakan cinta, bagi saya tidak selalu. Mungkin diluar sana masih banyak orang-orang yang menganggap dirinya sudah pernah merasakan cinta. Cinta yang seperti saya walaupun, sebenarnya tidak! karena cinta itu hanya disimpan dan dimilikinya sendiri secara egois tanpa berani membagi rasa itu dengan orang yang dicintainya.

Tentang cinta egois saya, perasaan ini sudah saya simpan sejak pertengahan tahun 2007 lalu hingga hari ini {saat saya menulis ini perasan itu juga masih ada}. Orang yang saya cinta bukanlah orang jauh, baik secara geografis, religious, maupun ideologis. Orang ini, kawan dekat saya {tadinya} namun, karena timbulnya perasaan ini saya jadi menjaga jarak dengannya. Sekarang saya hanya bisa mencintainya dari jauh, kalaupun kami bertemu, berpapasan muka langsung. Kami hanya saling bertukar pandangan, melempar senyum kemudian menyapa seadanya lalu kembali beraktifitas masing-masing. Saya dengan teman-teman saya, tugas-tugas saya, kuliah saya sedangkan dia dengan teman-temannya, obrolan sesama laki-laki, kuliahnya, dan kehidupannya. Kami kembali dengan perasaan masing-masing. Dia tidak penah tahu perasaan saya, saya juga tidak pernah tahu bagaimana perasaan dia terhadap saya. Dan kami sama-sama tidak ingin mencari tahu bagaiman perasaan masing-masing. Egois kan,? Tapi, mau tahu bagaimana perasaan saya. Ngak perlu ditanya sudah pasti remuk redam. Sakitnya melebihi orang yang pernah mengalami patah hati. Sedihnya lebih parah dari sekedar HP/dompet saat hilang di sikat copet. Atau rasanya lebih nyesek saat orang brengsek {yang mengaku sahabat} mengkhianati dengan ngomongin {fitnah} kita dari belakang. Tetang rasa itu akan terasa lebih menjadi saat tangan saya ada yang mengenggam dan orang itu bukan dia melainkan pacar saya.

Saya sedih ketika menyadari orang yang berada disamping saya selama ini bukanlah orang yang saya cintai. Lalu, atas dasar apa orang itu bisa berada disamping saya? Jawabannya tidak tahu. Satu-satunya alasan yang kuat hanyalah saya berusaha sebisa mungkin untuk menutupi rasa cinta itu. Terkadang saya juga jijik mengakui ini. Bukankah ini sama saja seperti halnya, orang lesbi yang berusaha menutupi jati dirinya dengan menikahi seorang pria tapi, setelah terjadinya ijab kabul dirinya tetap tidak ingin disentuh sedikitpun dengan orang yang sudah sah menikahinya. “alasanya karena saya tidak pernah mencintai dia” kamudian, barulah timbul penyesalan setelahnya. Kenapa harus mengorbankan perasan sendiri dan juga menyakiti persaan orang lain. Orang yang awalnya benar-benar mencintai kita apa adanya. Namun, setelah mengetahui kebenaran yang ada, dia malah balik membenci kita sejadi-jadinya. Sebenarnya, ada sedikit khawatiran yang saya rasakan setelah memposting tulisan ini. Saya takut status saya berubah menjadi single karena diputusin pacar yang wajahnya saat ini terlihat merah padam. {ngak usah dibaca…tulisan ini ngak usah dibaca} itu pesan singkat untuk pacar saya.

Selasa, 15 Juni 2010

ROTI BAKAR ELEKTRIK

Minggu ini gue ngerasain apa yang dinamakan kolaborasi yang sempurna antara bakat dan alam. Males ternyata cocok banget kalau dijodohin sama hujan, ditambah lagi saat weekend, maka yang akan dihasilkan adalah hibernasi ala anak kostan. Siang dan malem sudah nggak ada bedanya lagi di kostan. Semua pintu, jendela dan tirai ditutup rapat-rapat. Gue sama temen-temen kostan udah kayak segerombolan vampire yg bersembunyi dari sinar matahari, dalam ruangan kecil yang kurang ventilasi. Kebiasaan kami tidur berjamaah selama hari sabtu dan minggu, selalu berulang. Sehingga para tetangga kita sudah paham betul dengan ritual ini. Kadang kita suka mikir, kira-kira kapan ya kelakuan ini bisa berakhir?

Seinget gue. Alfonso, salah satu temen kost gue yang ikut organisasi pers dikampus bilang “kita bakalan berhenti hibernasi kalo sudah ada surat kabar yang menerbitkan headline: "4 MAHASISWA DITEMUKAN MEMBUSUK DALAM KAMAR KOSTNYA SECARA MENGENASKAN”.

"Gus…Gus" kata Leday sambil terus mengoyak-ngoyak pundak gue saat itu gue masih dalam keadaan tidur.

Jadi sewot.
"Aduh, ada apa Day?" tanya gue, muka masih ditutup bantal. Seakan gue ngak peduli sama keadaan sekitar.

Kerucuk…kerucuk…
Leday ngak bisa meneruskan tidurnya karena bunyi cacing di perutnya kelaparan.
"Makan yuk!" ajak Leday. Dia masih memegangi perutnya berharap cacing yang berdemo bisa bersabar.

“Males jalan, hujan, mending lu masak mie aja ngak usah cari makanan di luar” tolak gue.

"Mie-nya kan udah habis, Gus. Kemaren malem lu makan sama anak-anak sambil nonton bola”. Leday masih memaksa. Alfonso dan Diko terlihat sudah tidak bisa diharapkan. Mereka telah lebih dulu lomba ngorok kenceng-kencengan. Dua manusia ini jangan harap bisa dibangunkan. Kalau tidur aja udah kaya orang pingsan kecuali ada bau makanan yang mereka cium itu juga sudah bisa dipastikan hidungnya dulu yang bangun, baru kemudian matanya. Pandangan Leday kini melihat keluar jendela. Hujan masih mengguyur deras. Males kalau basah-basahan sendiri, pikirnya begitu.

“Yaaa udah tidur aja lagi, siapa tahu nanti kita mimpi makan, kan lumayan gratis” Gue ngejawab seadanya.

“Sial! Lu pikir mimpi makan biar gratis bisa kenyang” kini Leday yang gantian sewot. Rasanya dia putus asa untuk membujuk kawannya. Agus, yang memang hobi tidur.

Entah apa yang akan dimasak sama Leday tengah malam gini. Beras nggak ada, mie nggak ada. “seingat gue sih cuman ada roti & selai. Gue cuma bisa berdoa. Mudah-mudahan roti & selai juga ngak habis di makan saat kemaren malam” ujar Leday. Ritual anak-anak memang selalu begitu nonton sepak bola bareng, kalau team jagoan kalah untuk meluapkan kekecewaan hanya dengan menghabiskan makanan. Kemudian, langkah Leday mendekati dapur, wajahnya sumingrah ketika melihat roti & selai masih utuh ditempatnya. Tangannya menyalahkan kompor. Entah apa yang akan dimasak.

“cetek”
Tiga kali kompor dinyalahin ternyata ngak bisa, mungkin juga gasnya habis karena ini lagi tanggung bulan.

Ekspresi kesalnya hanya bertahan seperdetik lalu kembali mnggurat senyuman. Entah apa yang di pikirkan. Sepuluh menit kemudian.
***
“Gus…Gus…bangun" kata Diko

"Kenapa?" Agus yang nyium bau makanya kali ini lebih cepat dibanguninya.

“Ditunggu anak-anak tuh di ruang tengah" saut Diko.

“Ok lu duluan deh, gue cuci muka dulu" pesan Agus.

Begitu gue nyampe ruang tengah ternyata personel kostan udah ngumpul. Ada Ieday, Alfonso dan Diko yang duduk melingkari sepiring roti bakar. Gue memandang penuh curiga ke Leday. Masalahnya gue udah tahu dari tadi siang kalau kompor gas ngak ada isinya.

“Plis, jangan bilang lu abis ngepet!" kata gue dalem hati.

"Ayo ah! buruan udah pada laper nih!" teriak Alfonso.

"Eit, dari mana lu dapet roti bakar?" selidik gue.

“Leday yang bikin" jelas Diko, sedangkan Leday senyum-senyum ngak jelas, seakan mau pamer kecerdasannya.

“Lah, kita kan ga punya pemanggang roti" kata gue lagi masih penuh rasa curiga.

"Banyakan omong nih" kata Diko “terus kapan mulai makan roti bakarnya”, disusul kemudian Alfonso.

"Jadi gini Gus, gue manggang rotinya pake setrika. Nyammm..." jelas Leday sambil mengunyah sepotong roti bakar.

“Rasanya enak kok Gus, ngak kalah sama roti bakar Edi". Bela Diko kemudian. Alfonso sudah ngak lagi berkomentar karena mulutnya udah sibuk ngunyah roti bakar.

"Makasih deh" kata gue, "lu makan aja bertiga, gue udah kenyang”

"Wah beneran nih?" tanya Leday.

“Siiip…! kalau gitu bagian lu gue yang makan” kata Diko sambil melahap roti bakar yang kedua.

"Iya..." Seneng rasanya ngeliat temen kostan kompak. Makan bareng-bareng. meskipun dalam hati ada hal yang gue rahasiain, tapi gue ngak sampe hati bilang ke mereka. Kasian kalau harus membiarkan anak-anak dari etophia yang kelaparan ini berhenti makan.

"Kenapa sih lu, Gus, ngak mau makan?" tanya Leday.

"Iya, lu lagi sakit Gus, sampai roti bakar segini enaknya lu nolak makan?" tambah Alfonso.

“atau lu lagi program mogok makan biar cinta lu di terima lagi sama Tasya, ya.Gus?” ujar Diko.

"Enggak, gue ngak kenapa-kenapa kok. Gue cuman jijik aja" kata gue keceplosan.

"Jijik kenapa? ini bersih, higienis lagi" jelas Diko yang kemudian melahap potongan roti ketiga.

“He-eh” Leday, si koki juga ikut membenarkan.

"Higienis dari mana? setrika yang lu pake buat manggang roti itu kan abis gue pake nyetrika celana dalem gue yg belum kering!"

"Anjrot !!!!!".

"Huekz". "Sialan! kenapa lu ga bilang dari tadi”.

“Huekz!!!".

"Hah! Salah ya gue?" tanya gue yang ngeliat temen-temen gue kompak muntah berjamaah.

"Ya iyalah..." jawab mereka kompak.

“Huekzzzz…!!!"

Senin, 14 Juni 2010

Confession Of Excess My Self

Terkadang saya merasa kurang bersyukur mengapa saya ditakdirkan menjadi seorang NUR RACHMA bukan seorang Jacky Chan actor China fav saya atau menjadi Sharuk Khan actor bolywood kesukaan saya. Menurut kacamata saya atau mungkin juga beberapa orang yang merasa mengenal dekat saya pastilah mereka akan berkata yang sama dengan saya “ini orang lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya” melebihi kelebihan yang dimiliki oleh kedua actor kenamaan itu. Saat menyadari ini saya tersadar dan karena sifat baik saya yang tidak ingin di cap sombong oleh orang lain kemudia saya berusaha untuk menutupi segala kelebihan itu menjadi sebuah kekurangan yang justru dapat dijadikan teladan bagi banyak orang. (mulia banget kan cara berfikir gue?)

Sebagai contohnya, saya merasa mempunyai kelebihan pada “jitat” alias jenong. Jitat saya ini lebar bagaikan lapangan bola di Senayan. Banyak orang yang bilang jika ada seseorang yang mempunyai jitat nan lebar maka, katanya orang tersebut sudah ditakdirkan menjadi orang yang pintar. Nah, karena saya tidak ingin di cap sombong maka, saya berusaha selalu menutupi kelebihan jitat saya itu dengan menggunakan poni di setiap model rambut saya dari kecil hingga saya dewasa seperti sekarang ini. Macam-macam potongan jenis poni pernah saya coba ini dilakukan guna mengeksplorasi keindahan dari kelebihan jitat yang saya miliki. Dari poni samping, poni zig-zag, poni tumpuk, poni kuda, polem (poni lempar) sampai poni dora pun pernah saya coba dan hasilnya poni tersebut ternyata sukses membuat saya jadi terlihat tidak pintar.

Kelebihan saya yang lain adalah berat badan. Beberapa tahun yang lalu, Ibu saya pernah bercerita bahwa saya adalah anak yang dilahirkan secara abnormal. Kata ibu, sewaktu dia melahirkan saya telah terjadi kesalahan injeksi (malpraktek) yang dilakukan oleh seorang perawat yang mengaku khilaf karena kurang tidur (semalam habis ronda). Kondisi kandungan ibu saya saat terjadinya kekhilafan tersebut memasuki usia delapan bulan masa kandungan, Sama seperti rutinitas ibu hamil lainnya, setiap bulannya ibu saya juga rajin memeriksaan keadaan janin yang dikandungnya ke dokter specialis kandungan. Kata dokter karena keadaan janin yang ada dirahim ibu saya saat itu lemah jadi harus disuntik obat penguat kandungan agar janin dalam kandungan bisa bertahan hidup dan disinilah incident salah suntik itu terjadi. Ceritanya begini, pada saat dokter Herlina (dokter specialis kandungan Ibu saya) ingin menyuntikan obat penguat kandungan tiba-tiba HPnya berdering karena urusan urgent menyangkut nyawa pasiennya yang lain jadi Dokter Herlina memberikan mandat kepada salah satu perawat yang ada disana untuk menggantikan dokter menyuntikan obat penguat kandungan ke jaringan vena ibu saya. Harusnya pekerjaan suntik menyuntik bagi seorang perawat mudah tapi, ini malah terjadi malpratek karena bukan obat penguat kandungan yang di suntikan melainkan obat bius perangsang mules agar segera cepat melahirkan.

Well, setengah jam kemudian. akhirnya lahirlah saya kedunia sebulan lebih cepat dari waktu yang diharuskan dengan keadaan premature, bobot berat badan saya waktu itu hanya 1.8 Kg, dianalogikan ukuran bayi merah saya persis seukuran botol kecap ABC, alhasil selama 3minggu saya harus tinggal di dalam akuarium mungil (read: incubator) dan selama 3minggu itu juga tidak boleh kena air maka, sebagai pengganti air saya dimandikan dengan minyak. Entah minyak apa, minyak tanah, minyak jelantah atau minyak rem karena ibu saya tidak pernah bercerita detaile soal mandi minyak itu. Melihat keadaan bayi perempuannya yang lucu mirip tikus kecemplung di wajan penggorengan itu. Kemudian, Ibu memanggil saya dengan sebutan KELUNCUP yang artinya mungil/kecil dan saat itulah doa ibu untuk diri saya terucap “Jika rahma (bayi) bisa bertahan hidup lebih lama, maka ibu akan membuatmu menjadi orang besar”. Masalahnya pada saat mengucap kata “orang besar” hal ini bisa juga di inpretasikan macam-macam oleh orang lain. Dan doa ibu yang mana yang tidak dikabulkan oleh Tuhan.

Selanjutnya, tumbuh kembang saya saat TK hingga SD masih belum ada peningkatan. Saya masih mungil, masih di panggil dengan sebutan keluncup. Sehingga bisalah di tebak. Asupan gizi yang masuk kedalam tubuh saya jadi benar-benar diperhatikan saat itu seperti buah, multivitamin, sayur, susu, telur, daging, sampai yakult dan coklat silverquen pun tidak pernah absent masuk kedalam perut saya setiap harinya. Pada saat saya memasuki SMP nama keluncup tidak lagi melekat melainkan berganti menjadi nama julukan yang diberikan oleh teman-teman saya. TOGE, kenapa saya dipanggil toge? Karena sewaktu SMP kulit saya putih dan kurus malah cenderung begeng mirip seperti Toge dengan rambut keriting ikal-ikal jadi, masih samalah kondisi gizi pertumbuhan badan saya belum ada perubahan. Eh tapi, jangan salah biar begeng begini si Toge yang bersekolah di SMP 16 Tangerang merupakan siswa andalan yang selalu di turunkan pada saat turnamen pancak silat Candra Birawa, pernah dapet emas dan perunggu dua kali tingkat sejawa-bali, tingkat Jabar/Banten dan jayabaya. Selain itu, si Toge juga selalu jadi andalan teman laki-lakinya untuk membantu memenangkan tawuran sekolah melawan SMP Yupentek Tangerang dan SMPN 13 Tangerang yang sudah lama jadi musuh bebuyutan. Ketika beranjak SMA si Toge yang dulunya badung karena sering ikut tawuran pelajar sekarang mulai insyaf ini karena tepat disamping sekolahanya terdapat kantor polisi (jadi ngak berani macem-macem) selain itu juga, semasa SMA ini saya lebih menghabiskan waktu untuk aktif mengikuti paskibraka dan aktif di OSIS SMU 5 Tangerang. Tapi walaupun begitu, hobby belajar bela diri saja masih berlanjut di SMA. Disini saya memang sudah berganti aliran bukan lagi Candra Birawa tapi, saya ikut Salsabila. Kegiatannya masih sama, berupa silat beladiri hanya yang ini ditambah thai-ci dan ilmu kepekaan tenaga dalam. Kalaupun keadaan fisik saya sudah tidak putih lagi seperti sewaktu SMP itu dikarena saat SMA saya lebih banyak mengikuti kegiatan skull yang dijemur oleh senior saya di bawah terik sinar matahari alhasil, kulit saya menjadi gosong bukan lagi sowo matang dan mengenai berat badan tentunya sudah ada peningkatan. Dari yang awalnya 1.8Kg (waktu bayi) setelah SMA berat badan saya naik mejadi 45Kg.

Kelebihan berat badan atau obesitas yang sekarang menjadi salah satu kelebihan dari diri saya ini muncul pada saat saya kuliah, tepatnya sewaktu semester tiga. Dari terakhir SMA berat badan saya yang saat itu 45Kg lalu naik mejadi 50Kg pada saat semester 3. lalu…lalu naik lagi…naik…naik…kepuncak gunung…tinggi…tinggi sekali. Sampai akhirnya sekarang di semester 8 (tahun 2010) berat badan saya melojak drastis menjadi 6OKg dengan perbandingan tinggi badan yang hanya 160cm (astagfirlloh!). Analisis saya sih, mengenai naiknya berat badan ini secara tidak berprikemanusiaan dan berprikesekatan awalnya mungkin disebabkan karena saya sudah tidak lagi ikut kegiatan bela diri apapun secara rutin (untuk membakar lemak) ataupun tidak pernah lagi berolah raga kecuali saat mau naik gunung saja, atau saat ingin melakukan kegiatan Mahupa (Mahasiswa Hukum Pencinta Alam) seperti rafting, haking, atau clambing. Orahraga yang dilakukan itupun hanya pemanasan atau peregangan saja (itu mah bukan olahraga), yang hanya berlangsung selama 30menit dan dilakukan jarang-jarang. Haiiaaa…bagaimana tak mau gendut. Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, saya ingat-ingat lagi. Analisis yang saya kemukakan barusan sangatlah salah. Yang benar adalah kelebihan bobot badan tubuh saya alami ini disebabkan oleh doa yang pernah dipanjatkan oleh Ibu saya yang mungkin baru saat ini dikabulkan oleh Tuhan.

Lalu, untuk menutupi kelebihan ini saya pun jadi bingung…sangatlah bingung…karena walaupun memakai baju dengan warna-warna gelap sepertinya tidak menimbulkan efek perubahan terhadap bobot berat badan saya. Untuk itu, saya harap ada yang bisa memberikan solusi mengenai ini. Saya hanya ingin menutupi kelebihan diri yang saya punya ini supaya tidak di cap sebagai orang yang sombong. Sekian Confession Of excess my self. Apabila suatu saat nanti saya merasa mempunyai kelebihan unik yang lain pasti saya akan ceritakan kembali disini. HAHAHA…

Kamis, 10 Juni 2010

HITAM PUTIH

Apa yang terfikir saat kamu melihat orang yang kamu benci atau orang yang kamu tahu dia sangat membenci kamu? Buang muka, pura-pura ngak lihat, atau kalaupun pas bertatapan langsung tanpa bisa menghindar kamu pasti akan memaksa bibir untuk tersenyum walau terkesan mencibir. Perasaan benci pasti selalu di identikan dengan rasa sakit hati yang sebelumnya pernah di alami. Entah itu karena cemburu, merasa kalah bersaing, pernah dikhianati atau gagal untuk memiliki apa yang sekian lama menjadi obsesi. Tapi, apapun alasannya menanam benih kebencian terhadap orang lain bukanlah perbuatan yang bisa dikatakan benar. Aku setuju ketika mendengar kata-kata sederhana itu dari seseorang yang biasa aku panggil Kakak, padahal umurnya sebaya denganku, tingginya juga sama tapi, aku menghormati dia sebagai sosok yang lebih dewasa. Semua itu terlihat dari cara berfikirnya, cara dia memberikan solusi dari setiap permasalahan yang biasa aku keluhkan padanya. Aku banyak belajar ilmu hidup dari dia. bagaimana cara dia menahan emosi ketika dia marah, menyalurkan kesedihan disetiap aktifitas ibadahnya, menumbuhkan pemikiran positif disela-sela makian orang-orang didepannya.

Dia bagai sekolah tanpa ruang belajar, bagai yayasan pendidikan tanpa bayaran tiap bulan, bagai guru tanpa omelan. Saat ini aku menatapnya lekat. Aku mencoba bertanya ini itu padanya, mencoba mendapatkan solusi yang ditawarkannya, solusi yang memang aku butuhkan saat ini. Aku sadar di dunia ini bukan cuma aku yang punya masalah tiap orang hidup juga pasti punya masalah, dari masalah yang ringan sampai yang berat mungkin juga ada yang sampai bikin kepala pecah atau memang sengaja dipecahkan oleh orang yang punya permasalahan dalam arti kata bunuh diri. Sekarang beritanya banyak kok di koran dan di televisi..

Tapi, aku ngak gitu dan mudah-mudahan ngak pernah berfikir seperti itu. Makanya, untuk menghindari adanya kemungkinan itu aku lebih banyak bercerita sama Kakak. Aku sengaja ngak cerita sama sahabat-sahabatku dikampus atau sama sohib lengketku sewaktu SMA yang sampai sekarang masih keep contect apalagi sama orangtuaku. Kasian mereka, mungkin juga permasalahan hidupnya lebih berat dari aku, karena aku merasa ngak bisa meringankan jadi aku ngak pingin menjadi beban yang lebih memberatkan. Untuk itu, aku lebih sering cerita sama Kakak, aku yakin deh dia ngak mungkin keberatan, dia malah seneng bisa jadi sisi positif disaat aku terus-terusan berfikir negative.

Saat matahari terlihat menghadap barat, langit biru sudah mengurangi pancaran terangnya, warna biru terangnya kini sudah berganti jingga. Mukena baru saja aku lipat setelah menyelesaikan fardu ashar, kini langkah kaki siap mengayun kearah ruang tamu. Disana Kakak sudah menunggu. Aku tersenyum saat menatapnya, memuji kesabaranya karena telah mau menunggui seorang yang lelet sepertiku ini. Kini gantian dia yang menatap wajahku seakan tidak sabar lagi ingin mendengarkan segala keluh kesahku yang sudah kusimpan seminggu ini. Kemarin-kemarin aku lagi banyak tugas kuliah maklum sudah mau mendekati ujian jadi ngak sempat mengatur waktu untuk bertemu dengannya. Yah, seminggu kemarin memang jadi hari-hari yang memuakan di kampus. Banyak kekesalan-kekesalan yang aku pendam dan siap meledak. Tapi, sebisa mungkin aku tahan itu aku lakukan demi Kakak karena jika kata-katanya sudah tidak lagi aku dengar dia bisa sedih dan kecewa. Mungkin dia akan merasa dirinya gagal telah menjadi Kakak yang baik untukku.

Pokoknya jangan pernah mulut kamu memaki atau menghina orang lain untuk meluapkan segala kekesalan yang ada dihatimu, karena belum tentu kamu lebih baik dari orang yang kamu maki dan hina tersebut. Itu kata-kata yang terus-terusan diulang olehnya. Mungkin maksudnya agar aku selalu ingat tapi, terkadang bosen juga ngedengerinnya habis terkesan terlalu munafik. Yaaa, namanya juga orang lagi marah, apalagi kalau segaja dipancing amarahnya jadi, wajar dong kalau sampai meledak-ledak. Ekspresi orang marah memang beda-beda. Ada yang reflex langsung nyebut nenek moyangnya kaya monyet lu, kingkong, megantropus palaeojavanicus, pithecanthropus erectus atau manggilin piaraannya kaya woii…iblis, setan, kuntil anak, gundoruwo, kolor ijo. Selain itu, juga ada yang rajin untuk ngabsenin satu-satu hewan margasatwa yang ada di bonbin. Itu hanya sebagian luapan amarah lewat lisan, sebagian orang juga ada yang lebih memilih langsung main bogem, ngajakin gulat atau summo. Itu semua pilihan. Bagi mereka yang susah mengeluarkan ekspresinya lebih memilih diam. Istilah diam itu emas menjadi panutan tapi, mungkin cara itu ngak pernah bertahan lama. Dua atau tiga tahun dipendam dipastikan hal itu akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tensi darah bisa naik, sering punya masalah dengan migren, atau yang parah bisa terkena stroke instant. Satu-satunya cara mengekspresikan luapan marah tanpa efek samping adalah curhat. Pilihannya bisa dengan orang-orang terdekat. Keluarga, pacar, atau sahabat. Sebelum curhat pilih juga waktu yang tepat, kondisi yang tepat dan lihat mood orang yang ingin di ajak curhat. Supaya pada saat sesi curhat berlangsung, ngak ada istilah curcol dari si pendengar curhat.

Kalau Kakak memang selalu menjadi pendengar yang baik sama seperti sore ini. Aku muntahkan semua kekesalanku, ku kuras semua unek-unek yang telah seminggu ini aku tahan. Semuanya…yah, semuanya sampai benar-benar rasa kesal itu habis. Rasa amarah itu hilang. Kini aku bisa tersenyum melihat kearahnya. Sorot mata yang tadi geram berangsur tenang, wajah merah padamnya terlihat memudar. Aku tidak lagi marah sekarang, rasa itu hilang berganti kesabaran. Aku lulus ujian, ujian mengatasi egoku sendiri, padahal bisa saja pada saat amarah itu datang aku segera menjambak rambut orang yang membuatku kesal, aku pukuli dia, aku maki-maki tepat di mukanya. Aku keluarkan segala jurus bela diri yang telah kupelajari setiap kamis – sabtu. Biar tulang-tulangnya patah dan mulutnya tidak bisa lagi menghina. Tapi semua itu tidak aku lakukan.

Kata Kakak amarah sama halnya dengan setan, kesabaran adalah malaikatnya. Setiap manusia pasti punya kedua sisi tersebut. sisi baik dan sisi buruk. Semua tergantung manusia itu sendiri mau mengelolah dirinya untuk lebih dominan mempunyai sisi positif atau sisi negatif. sama juga seperti Aku dan Kakak. kami adalah satu jiwa yang sama, tapi berbeda cara pemikiran. Itu bisa aku rasakan saat aku sedang diam, mencoba introspeksi dari setiap hari yang sudah aku lalui. Menilai perbuatan yang sudah aku lakukan sendiri. Kadang rasa bersalah dan malu itu datang saat aku harus berhadapan dengan Kakak. Kepribadiannya begitu bertolak belakang denganku. Aku ingin menjadi seperti dia walaupun tidak bisa sama seluruhnya, tapi minimal aku berharap. Aku sebagai sisi hitam tidak ingin lebih dominan dari Kakak yang memang menjadi sisi putih dari kepribadian dan jiwaku yang lain.

Selasa, 08 Juni 2010

KETIKA ALAM BICARA


Selamat datang para penghuni bumi ini, silahkan menikmati pertunjukan dari alam yang kau tinggali ini, saya belum pernah lihat mahasiswa-mahasiswi berdemo atau aksi dengan membawa bendera organisasinya, lalu dengan lantang berbicara bahwa kita semua seharusnya peduli terhadap tanah tempat tinggal kita (bukan peduli terhadap bank century atau seperti kasus kriminalisasi KPK) yang kemudian teriakan tersebut dibarengi dengan lempar-lemparan batu dengan aparat kepolisian, aksi bakar ban ditengah jalan sehingga menimbulkan kemacetan.

Dan pernahkah kamu berfikir bahwa alam bisa saja cemburu dan ingin juga diperhatikan. Lalu, tindakan apa yang harus dilakukan untuk menjaga alam. Semoga idealisme-mu bisa membuat alam ini lebih lestari, lebih merasa dicintai oleh penghuninya sehingga tidak sedikit-sedikit tersinggung lalu berguncang yang kemudian menimbulkan korban berjatuhan. Beraspirasi, mengomentari tindakan orang lain memang menyenangkan. Tapi, kalau kita dikomentari oleh alam tentang tindakan kita terhadapnya (alam), paling tidak dengan teguran yang berupa longsor yang terjadi di Kab. Garut, Longsor di Ciwidey, Banjir bandang, Gempa di Jogja dan Padang. akibatnya bukan hanya tempat tinggal atau harta yang hilang tapi juga nyawa para penghuni bumi yang ikut melayang. Jadi selamat berkoar-koar dijalanan. Selama itu dipersilahkan, Selama tanah yang kau injak ini masih sudi untuk kau tapaki.

* Tulisan ini di buat sebagai rasa empati atas banyaknya bencana alam yang terjadi di tanah ibu pertiwi.

PDA

Bukan, ini bukan handphone canggih alias smartphone, tapi Public Display Affection, alias mengumbar kemesraan di depan umum. Hmm…memang sih kalau lagi jatuh cinta, dunia memang serasa milik berdua yang lain cuma ngontrak. Pinginnya ngak jauh-jauh dari pacar, pingin selalu lengket dan mesra. Mau di mall, pas lagi nonton bioskop, disekolah/kampus bahkan juga dirumah apalagi kalau pas lagi ngak ada bokap nyokap. Hehehe…ini juga pernah gue alamin. Yang belakangan ini juga jadi hal yang paling gue sesalkan karena sebenarnya gue sangat ngerasa risih kalau ngeliat sepasang muda-mudi yang lagi pacaran terus bikin adegan mesra sendiri di depan mata gue. Huekkzz!! Asli gue bukannya iri karena sekarang gue lagi ngak punya pacar tapi, pas diliatnya itu lho…iiih, jijik banget. Sekarang ini gue jadi sadar mungkin dulu orang-orang juga berfikir serupa tentang gue dan pacar sama kaya apa yang gue pikirin sekarang.

Adegan delapan belas tahun keatas ini terjadi di atas gerbong kereta. Si cewek terlihat asik ngegelayut mesra di pundak pacarnya. Si cowok juga ngerespon dengan memeluk pacarnya erat dari belakang. Gue ngak tau apa yang sedang mereka pikirkan tapi, kondisi di atas gerbong kereta yang pada saat itu penuh walaupun ngak sesak seperti biasa kayanya ngak ada ngaruhnya buat mereka. “Cinta oh, cinta betapa indahnya.” Mungkin kira-kira cuma itu yang ada di otak mereka, sehingga mereka ngak sadar betapa banyak pasang mata yang sedang memperhatikan mereka tentunya dengan perspektif yang berbeda-beda.

Gue sebenarnya males ngeliat tapi, mau bagaimana lagi karena posisi gue yang pada saat itu duduk tepat banget menghadap kearah mereka yang ngak kebagian duduk dan berdiri didepan gue. Yah, gue pikir daripada mubazir ngak ada tontonan lain akhirnya gue liatin deh tontonan gratis di depan gue. Hahaha…

Kemesraan diatas gerbong kereta terus berlanjut, tangan Si cowok masih memeluk erat tubuh pacarnya. Tapi, pas gue perhatiin kayanya ada sedikit keanehan karena mata Si cowok yang tadinya normal-normal aja sekarang jadi terlihat merem-melek, bibir Si cowok juga sudah menciumi pundak serta leher ceweknya. Nah, respon ekspresi muka Si cewek masih biasa aja, tapi tangannya langsung dimasukan kedalam kantong jaket yang di pakai cowoknya. Sekarang gantian tangan Si cowok yang bergeriliya. Tangannya yang tadi erat memeluk tubuh bagian pinggang ceweknya kini mulai turun-turun, terus turun dan makin turun. Sampai tangan itu berhasil menggapai retsleting celana levis Si cewek. Kemudian dibukanya pelan-pelan, terus berusaha membuka perlahan sampai kira-kira sudah berhasil terbuka setengah tiang. Gue sempat juga tengak-tengok mengira apakah adegan ini cuma gue doang yang ngeliat atau enggak tapi, pas gue menengok ke sebelah kanan ternyata ada bapak-bapak setengah baya yang kepala depannya udah botak juga sedang melihat adegan itu dengan tatapan mata kearah retsleting dengan amat serius.

“kira-kira apa yah warna celana dalem yang Si cewek pakai?” mungkin itu yang ada di otak si bapak-bapak, tebakan gue.

Tapi, tampaknya hasrat keingintahuan itu tidak jadi tercapai karena rupanya Si cewek tersadar dan buru-buru menaikan retsleting celananya. Kini wajah si bapak terlihat sedikit kecewa. Gue hanya tersenyum simpul. Si cowok yang merasa gagal nampaknya tidak langsung berputus asa. Tangannya kembali bergeriliya turun lagi, terus turun dan makin turun lagi. Kali ini bukan retsleting tujuannya tapi langsung masuk kedalam T-shirt yang dipakai ceweknya. Saat Si cewek tersadar tangan cowoknya ditempatkan kembali dipinggang. Begitu seterusnya sampai lima kali percobaan.

Gue ngeliatnya jadi geregetan, kalau memang ngak boleh masuk ke danger area kenapa ngak langsung bilang sih, kenapa terkesan masih memberi kesempatan bahkan sampai lima kali kesempatan.

Lalu adegan selanjutnya, beneran deh saat ini gue jadi berasa nonton film Titanic tapi, versi di atas gerbong kereta bukan di atas kapal pesiar yang mewah. Bagai Jack dan Ross mereka berdua menghayati adegan tiap adegan. Mungkin dianggapnya gue dan penumpang lainnya dikereta hanyalah segerombolan lumba-lumba yang menjadi saksi betapa cinta mereka sangat dalam sedalam samudra. Dan kali ini gue beneran menutup mata, gak mau liat. Gue memang pernah mesra-mesraan sama pacar tapi ngak se-extrime ini. Jijik gue ngeliatnya. Masalahnya kenapa harus di hadapan orang banyak. Kenapa sih ngak kalian nikmati aja berdua. Kenapa ciuman harus di pamerin di depan orang satu gerbong kereta. Memangnya gak ada tempat lain yang sepi kan bisa di kuburan atau di dalam lemari baju gitu.

Saat gue lagi ngedumel sendiri tibat-tiba ada ibu-ibu berjilbab yang teriak “Eit…eittt…” bagai sutradara yang menyuruh menghentikan adegan syuting pemainnya karena dianggap kurang sesuai dengan apa yang sudah disekenariokan sebelumnya. Tapi, kalau kedengeran di kuping gue Si ibu berjilbab itu teriak “cut…cut…adegan melebihi keromantisan di sekenario, harap ulangi adegan” Lha, ngak tau kenapa pas mata gue melek kedua muda-mudi yang sedang dimabuk cinta itu bersiap ingin turun dari kereta dengan wajah merah tomat.

Ketika mereka benar-benar turun. Gue langsung menoleh kearah bapak-bapak berkepala setengah botak tadi, dia juga sama sedang melihat kearah gue. wajah dia, gue dan mungkin wajah beberapa penumpang kereta yang lain sedikit kecewa. Yah, ending filmnya berakhir di stasiun tebet. Padahal kereta ini mengakhiri perjalanannya sampai ke stasiun Bogor.
***
Setelah gue mengalami sendiri, nyatanya memang risih banget ngeliat gaya pacaran orang yang extrime. Kesadaran ini muncul udah lama jauh sebelum gue melihat sosok Jack dan Ross versi gerbong kereta itu. Gue mikirnya percuma memang pelukan atau ciuman tapi, ngak ngejamin hubungan pacaran bisa awet seperti yang diharapkan. Malah bisa bikin image diri sendiri terlihat buruk di depan orang. Kalo bener hubungan pacaran langgeng sampai kepernikahan, kalo ternyata putus di tengah jalan? Apa itu ngak jadi hal yang merugikan buat kaum Cewek? Pasaran bisa turun, belum lagi image sebagai cewek ‘gampangan’ sudah telanjur melekat. Waduh…bisa-bisa cowok lain bakal mikir dua kali buat ngejadiin pacar. Itu kata-kata yang selalu gue inget dari Yudi, dia sahabat gue, asli anaknya care banget bukan cuma sama gue tapi, sama sahabat ceweknya yang lain juga begitu.

Setelah wejengan itu, dalam pacaran gue selalu Keep alert dalam artian selalu naker kalau kemesraan sudah terasa berlebihan. Kalo gue sendiri gak bisa control, gue mendingan pacaran ngajak teman kaya double date gitu. Pacar memang kadang protes. Tapi, the more, the merrier deh. Makin rame, makin kecil pula keinginan/kesempatan buat bermesraan. Karena gue ngak mau aja, apa yang gue pikirin tentang Jack dan Ross versi gerbong kereta ternyata itu juga menjadi pikiran yang sama dari orang lain ke gue.