Kamis, 10 Juni 2010

HITAM PUTIH

Apa yang terfikir saat kamu melihat orang yang kamu benci atau orang yang kamu tahu dia sangat membenci kamu? Buang muka, pura-pura ngak lihat, atau kalaupun pas bertatapan langsung tanpa bisa menghindar kamu pasti akan memaksa bibir untuk tersenyum walau terkesan mencibir. Perasaan benci pasti selalu di identikan dengan rasa sakit hati yang sebelumnya pernah di alami. Entah itu karena cemburu, merasa kalah bersaing, pernah dikhianati atau gagal untuk memiliki apa yang sekian lama menjadi obsesi. Tapi, apapun alasannya menanam benih kebencian terhadap orang lain bukanlah perbuatan yang bisa dikatakan benar. Aku setuju ketika mendengar kata-kata sederhana itu dari seseorang yang biasa aku panggil Kakak, padahal umurnya sebaya denganku, tingginya juga sama tapi, aku menghormati dia sebagai sosok yang lebih dewasa. Semua itu terlihat dari cara berfikirnya, cara dia memberikan solusi dari setiap permasalahan yang biasa aku keluhkan padanya. Aku banyak belajar ilmu hidup dari dia. bagaimana cara dia menahan emosi ketika dia marah, menyalurkan kesedihan disetiap aktifitas ibadahnya, menumbuhkan pemikiran positif disela-sela makian orang-orang didepannya.

Dia bagai sekolah tanpa ruang belajar, bagai yayasan pendidikan tanpa bayaran tiap bulan, bagai guru tanpa omelan. Saat ini aku menatapnya lekat. Aku mencoba bertanya ini itu padanya, mencoba mendapatkan solusi yang ditawarkannya, solusi yang memang aku butuhkan saat ini. Aku sadar di dunia ini bukan cuma aku yang punya masalah tiap orang hidup juga pasti punya masalah, dari masalah yang ringan sampai yang berat mungkin juga ada yang sampai bikin kepala pecah atau memang sengaja dipecahkan oleh orang yang punya permasalahan dalam arti kata bunuh diri. Sekarang beritanya banyak kok di koran dan di televisi..

Tapi, aku ngak gitu dan mudah-mudahan ngak pernah berfikir seperti itu. Makanya, untuk menghindari adanya kemungkinan itu aku lebih banyak bercerita sama Kakak. Aku sengaja ngak cerita sama sahabat-sahabatku dikampus atau sama sohib lengketku sewaktu SMA yang sampai sekarang masih keep contect apalagi sama orangtuaku. Kasian mereka, mungkin juga permasalahan hidupnya lebih berat dari aku, karena aku merasa ngak bisa meringankan jadi aku ngak pingin menjadi beban yang lebih memberatkan. Untuk itu, aku lebih sering cerita sama Kakak, aku yakin deh dia ngak mungkin keberatan, dia malah seneng bisa jadi sisi positif disaat aku terus-terusan berfikir negative.

Saat matahari terlihat menghadap barat, langit biru sudah mengurangi pancaran terangnya, warna biru terangnya kini sudah berganti jingga. Mukena baru saja aku lipat setelah menyelesaikan fardu ashar, kini langkah kaki siap mengayun kearah ruang tamu. Disana Kakak sudah menunggu. Aku tersenyum saat menatapnya, memuji kesabaranya karena telah mau menunggui seorang yang lelet sepertiku ini. Kini gantian dia yang menatap wajahku seakan tidak sabar lagi ingin mendengarkan segala keluh kesahku yang sudah kusimpan seminggu ini. Kemarin-kemarin aku lagi banyak tugas kuliah maklum sudah mau mendekati ujian jadi ngak sempat mengatur waktu untuk bertemu dengannya. Yah, seminggu kemarin memang jadi hari-hari yang memuakan di kampus. Banyak kekesalan-kekesalan yang aku pendam dan siap meledak. Tapi, sebisa mungkin aku tahan itu aku lakukan demi Kakak karena jika kata-katanya sudah tidak lagi aku dengar dia bisa sedih dan kecewa. Mungkin dia akan merasa dirinya gagal telah menjadi Kakak yang baik untukku.

Pokoknya jangan pernah mulut kamu memaki atau menghina orang lain untuk meluapkan segala kekesalan yang ada dihatimu, karena belum tentu kamu lebih baik dari orang yang kamu maki dan hina tersebut. Itu kata-kata yang terus-terusan diulang olehnya. Mungkin maksudnya agar aku selalu ingat tapi, terkadang bosen juga ngedengerinnya habis terkesan terlalu munafik. Yaaa, namanya juga orang lagi marah, apalagi kalau segaja dipancing amarahnya jadi, wajar dong kalau sampai meledak-ledak. Ekspresi orang marah memang beda-beda. Ada yang reflex langsung nyebut nenek moyangnya kaya monyet lu, kingkong, megantropus palaeojavanicus, pithecanthropus erectus atau manggilin piaraannya kaya woii…iblis, setan, kuntil anak, gundoruwo, kolor ijo. Selain itu, juga ada yang rajin untuk ngabsenin satu-satu hewan margasatwa yang ada di bonbin. Itu hanya sebagian luapan amarah lewat lisan, sebagian orang juga ada yang lebih memilih langsung main bogem, ngajakin gulat atau summo. Itu semua pilihan. Bagi mereka yang susah mengeluarkan ekspresinya lebih memilih diam. Istilah diam itu emas menjadi panutan tapi, mungkin cara itu ngak pernah bertahan lama. Dua atau tiga tahun dipendam dipastikan hal itu akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tensi darah bisa naik, sering punya masalah dengan migren, atau yang parah bisa terkena stroke instant. Satu-satunya cara mengekspresikan luapan marah tanpa efek samping adalah curhat. Pilihannya bisa dengan orang-orang terdekat. Keluarga, pacar, atau sahabat. Sebelum curhat pilih juga waktu yang tepat, kondisi yang tepat dan lihat mood orang yang ingin di ajak curhat. Supaya pada saat sesi curhat berlangsung, ngak ada istilah curcol dari si pendengar curhat.

Kalau Kakak memang selalu menjadi pendengar yang baik sama seperti sore ini. Aku muntahkan semua kekesalanku, ku kuras semua unek-unek yang telah seminggu ini aku tahan. Semuanya…yah, semuanya sampai benar-benar rasa kesal itu habis. Rasa amarah itu hilang. Kini aku bisa tersenyum melihat kearahnya. Sorot mata yang tadi geram berangsur tenang, wajah merah padamnya terlihat memudar. Aku tidak lagi marah sekarang, rasa itu hilang berganti kesabaran. Aku lulus ujian, ujian mengatasi egoku sendiri, padahal bisa saja pada saat amarah itu datang aku segera menjambak rambut orang yang membuatku kesal, aku pukuli dia, aku maki-maki tepat di mukanya. Aku keluarkan segala jurus bela diri yang telah kupelajari setiap kamis – sabtu. Biar tulang-tulangnya patah dan mulutnya tidak bisa lagi menghina. Tapi semua itu tidak aku lakukan.

Kata Kakak amarah sama halnya dengan setan, kesabaran adalah malaikatnya. Setiap manusia pasti punya kedua sisi tersebut. sisi baik dan sisi buruk. Semua tergantung manusia itu sendiri mau mengelolah dirinya untuk lebih dominan mempunyai sisi positif atau sisi negatif. sama juga seperti Aku dan Kakak. kami adalah satu jiwa yang sama, tapi berbeda cara pemikiran. Itu bisa aku rasakan saat aku sedang diam, mencoba introspeksi dari setiap hari yang sudah aku lalui. Menilai perbuatan yang sudah aku lakukan sendiri. Kadang rasa bersalah dan malu itu datang saat aku harus berhadapan dengan Kakak. Kepribadiannya begitu bertolak belakang denganku. Aku ingin menjadi seperti dia walaupun tidak bisa sama seluruhnya, tapi minimal aku berharap. Aku sebagai sisi hitam tidak ingin lebih dominan dari Kakak yang memang menjadi sisi putih dari kepribadian dan jiwaku yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar